Batu di sekolah perdagangan, bekas kiriman letusan Galunggung sekarang SMPN 10 , Tasikmalaya tahun 1925
Pengrajin Payung di Babakan Payung tahun 1920
Kodim Tarumanegara tahun 1925 - 2012
Pendopo & Rumah Bupati Tahun 1925
Kantor asisten komisaris di Tasikmalaya tahun 1921
Pembangunan rumah sakit di Tasikmalaya tahun 1925
Potret Bupati dan Crew dengan senapan di Manondjaja disertai bulldog...kereennnnn tahun 1870
enara
Eiffel bambu Tasikmalaya, Jawa, memperingati penobatan Ratu Wilhelmina
pada tahun 1898 dan dirancang dan dilaksanakan oleh inspektur Air AH van
Bebber di Pendopo Tasikmalaya
Rapat Majelis Desa dipimpin oleh Perwakilan Pemerintah,sudah brg tentu Perwakilan Pemerintanya pasti org Belanda Tahun 1925
alan Raya Tasikmalaya - Bandung thn 1920
Sebuah Prosesi Perayaan Kabupaten di Tasikmalaya Tahun 1925
Anak-anak diajarkan dalam tenun tikar bambu dan rokok kasus, Tasikmalaya ( kayanya dipekerjakan) tahun 1923
Berikut ini
beberapa foto yang dikumpulkan Tim Taselamedia dari berbagai sumber,
yang tentunya tidak lain mengingatkan kita sebagai warga Tatar Pasundan
mengenang dan menerawang ke masa lampau dengan menyimak beberapa foto
hasil para fotografer tempo doeloe yang mana hasil karya mereka dikenang
dari masa ke masa.
Tasikmalaya Selatan Tahun 1925
Situ Lengkong Tasikmalaya Tahun 1910
Sawah di manonjaya timur dengan latar belakang jembatan diatas sungai Ciwulan, Date 1880
Rumah Tjamat soekapoera kollot, Tahun 1880
Rumah keluarga - Tasikmalaya Date 1924
Perayaan Tasikmalaya Tahun 1924
Pasangrahan SIngaparna Tahun 1880
Mesjid Tasikmalaya Tahun 03-1901
Mesjid Manonjaya Tahun 1880
Membawa daun pandan - Rajapolah Tahun 1920
kegiatan Volyball militer di Tasikmalaya Tahun 15-08-1949
kebun di kediaman Asisten Residen Tasikmalaya date 1880
Jalan tasikmalaja - garoet (mangoenredja) 1880
Industri Payung - Tasikmalaya Datum 1935
Gunung galunggung 1880 (Diphoto dari mangunreja)
Gunung Papandayan garut tahun 1910
Acara Pernikahan Manonjaya - Tasikmalaya Tahun 1900
Sejarah Tasikmalaya setidaknya terbagi atas 2 periode, yaitu era sebelum Islam, dan era masuknya Islam. Berikut ini paparannya.
Pada sekitar abat ke 7 sampai dengan abad ke 12, Wilayah Tasikmalaya
yang kini dikenal dengan sebutan Kabuptaten Tasikmalaya, telah dikenal
suatu bentuk Pemerintahan yang berlevel Kebataraan atau kasepuhan,
dengan pusat pemerintahaan kala itu di daerah sekitar Gunung Galunggung.
Tasik pada abad-abad tersebut
pemerintahannya pernah dipimpin oleh sang Batara Semplakwaja, kemudian
Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari
Hyang, yang kemudian terjadinya transformasi bentuk pemerintahan dari
Kebataraan menjadi Kerajaan.
Kerajaan ini bernama Kerajaan Galunggung yang berdasarkan Prasasti Geger
Hanjuang yang berada di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi,
Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya, berdiri pada 13 Bhadrapada 1033 Saka
atau sekitar 21 Agustus 1111 dengan raja pertamanya adalah Batari Hyang.
Salah satu prestasi Batari Hyang adalah hadirnya ajaran yang dikenal
dengan Sang Hyang Siksakanda ng Karesian, yang hingga masa era kekuasaan
Prabu Siliwangi (1482-1521 M) ajaran ini masih menjadi ajaran resmi
yang dianut.
Sejarah Kerajaan Galunggung ini bertahan hingga enam generasi yang semuanya keturunan dari Batari Hyang.
Sejarah berlanjut hingga tibanya masa pemerintahan Sri Gading Anteg di
Sukakerta dengan ibukota di Dayeuh Tengah (sekarang termasuk dalam
Kecamatan Salopa, Tasikmalaya). Sri Gading Anteg hadir sezaman dengan
Prabu Siliwangi, dan wilayah yang dulu masuk dalam Kerajaan Galunggung
telah menjadi bagian dari Kerajaan Siliwangi yang berpusat di Pakuan
Pajajaran.
Kerajaan Siliwangi pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa (1521-1535 M)
pengganti tahta dari Prabu Siliwangi, mengalami desakan dari pergerakan
kerajaan Islam yang mulai menguasai tanah Jawa termasuk Tanah Sunda.
Pergerakan kerajaan Islam yang dipelopori Kerajaan Cirebon dan Demak ini
cukup menyudutkan eksistensi kerajaan Siliwangi, apalagi setelah Sunan
Gunung Jati sejak tahun 1528 berkeliling ke seluruh wilayah tanah Sunda
untuk mengajarkan Agama Islam.
Peta Kabupaten Tasikmalaya
Hal ini membuat semakin lama Siliwangi menjadi lemah dan membuat
daerah-daerah kekuasannya terutama yang terletak di wilayah timur
berusaha merdeka dan melepaskan diri. Diperkirakan Wilayah yang dulunya
Kerajaan Galunggung dan kemudian Surakerta mengambil kesempatan ini
untuk memerdekakan diri lewat pemimpinnya yang waktu itu memerintah
yaitu Dalem Sukakerta atau Dalem Sentawoan yang diduga beliau telah
memeluk Islam, yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya wilayah yang
dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya hingga saat ini.
Setidaknya ada banyak peristiwa penting yang terjadi di daerah Kabupaten
dan Kota Tasikmalaya yang turut mewarnai sejarah Republik Indonesia
pada khususnya. Diantaranya :
Pemberontakan terhadap penjajah Jepang yang dipimpin oleh K.H.Zaenal Mustofa di Singaparna.
Pelucutan senjata KOMPETAI oleh para pemuda Tasikmalaya.
Penerbangan pertama dengan pesawat terbang yang menggunakan bendera
merah putih dari Pangkalan Udara Cibeureum dilakukan oleh pilot Adi
Sutjipto dan Basyir Surya.
Lahirnya Divisi Siliwangi
Pemberangkatan Hijrah ke Yogyakarta pada era Agresi Militer Belanda I
Kongres pertama Koperasi Indonesia yang melahirkan Hari Koperasi 12 Juli.
Lahirnya konsep pertahanan keamanan rakyat semesata (HANKAMRATA).
Asal Usul Nama Kota “Tasikmalaya”; Mengungkap Bencana Maha Dahsyat di Tatar Sunda
Antara Sukapura dan Tasikmalaya berbilang riwayat yang panjang. Dua
nama yang berada di wilayah Priangan Timur, Jawa Barat, ini silih
berganti menjadi nama wilayah administratif. Riwayatnya bisa kita gali
dari buku buku sejarah. Di antaranya kita bisa membaca tulisan “Sukapura
(Tasikmalaya)” karya Ietje Marlina yang dimuat dalam buku Sejarah
Kota-kota Lama di Jawa Barat (2000: 91-110) dan Sejarah Kota
Tasikmalaya, 1820-1942 (2010), karya Miftahul Falah. Dari kedua buku
tersebut, nama pertama yang mula-mula mengemuka dalam sejarah adalah
Sukapura.Pertama-tama nama ini merujuk kepada satu dari tiga kabupaten di
Priangan yang diresmikan oleh Sultan Agung dari Mataram pada 9 Muharam
Tahun Alif yang bertepatan dengan 20 April 1641. Dua kabupaten lainnya
adalah Kabupaten Parakanmuncang dan Bandung.
Peresmian tersebut merupakan balas jasa Sultan Agung kepada
umbul-umbul di Priangan Timur yang membantu menumpas pemberontakan
Dipati Ukur kepada Mataram. Pada 1632, umbul Sukakerta Ki Wirawangsa
bersama dengan Umbul Cihaurbeuti Ki Astamanggala dan Umbul Sindangkasih
Ki Somahita menahan dan membawa kepala daerah Tatar Ukur itu ke Mataram
untuk dihukum mati. Sebagai imbalannya, dalam piagam bertanggal 9
Muharam, itu Sultan Agung mengangkat Ki Wirawangsa sebagai Bupati
Sukapura bergelar Tumenggung Wiradadaha; Ki Astamanggala menjadi bupati
Bandung bergelar Tumenggung Wiraangun-angun; dan Ki Somahita sebagai
Bupati Parakanmuncang bergelar Tumenggung Tanubaya.
Nama Sukapura menurut Babad Soekapoera (R. Kertianagara), berasal
dari kata “suka” yang berarti “asal” atau “tiang” dan “pura” berarti
“karaton” atau istana. Dengan demikian, Sukapura bisa mengandung arti
“djedjerna karaton” atau “asal-mula istana”, karena di tempat itulah
kabupaten Sukapura berdiri. Meskipun nama Sukapura bisa juga sebenarnya
diambil dari nama desa yang menjadi bawahan Distrik Sukaraja, karena
kemudian terbukti Ki Wirawangsa memindahkan ibukota kabupaten dari
Dayeuh Tengah ke Leuwi Loa, yang termasuk Desa Sukapura Onderdistrik
Sukaraja.
Dilihat dari perkembangannya, sejak awal pendirian Kabupaten Sukapura
hingga tahun 1901, kota yang kini dikenal sebagai Tasikmalaya tidak
termasuk ke dalam wilayah Sukapura. Mulanya, ia masuk wilayah Kabupaten
Parakanmuncang dan Kabupaten Sumedang. Mula-mula Kota Tasikmalaya
dikenal sebagai bagian dari Umbul Galunggung atau Indihiang, yang
termasuk Kabupaten Parakanmuncang. Kemudian sejak 1820 muncul nama
distrik Tasikmalaija op Tjitjariang (Tasikmalaya atau Cicariang) dan
inilah kali pertama nama Tasikmalaya mengemuka dalam sejarah sebagai
nama sebuah wilayah.
Pada 1839, Distrik Tasikmalaija op Tjitjariang diringkas menjadi
Distrik Tasikmalaija dan pada 1901 distrik tersebut dimasukkan sebagai
bagian dari wilayah Kabupaten Sukapura. Perubahan yang sangat berarti
terjadi pada 1913, karena sejak itu secara resmi Kabupaten Sukapura
berubah nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Perubahan ini mengikuti nama
ibukota kabupaten sesuai dengan kebijakan kolonial Hindia Belanda.
Dari sisi toponiminya, nama Tasikmalaya menimbulkan berbagai
penafsiran. Dalam kedua buku di atas misalnya, ada dua pendapat yang
menyatakan asalusul nama Tasikmalaya. Pertama, nama itu terbentuk dari
kata “tasik” dan “laya”. “Tasik” berarti “keusik” atau pasir dan “laya”
berarti “ngalayah” atau menghampar. Jadi, Tasikmalaya diartikan sebagai
“keusik ngalayah” atau pasir yang menghampar akibat letusan Gunung
Galunggung pada 8 dan 12 Oktober 1822.
Kedua, nama itu terbentuk dari kata “tasik” dan “malaya”. “Tasik”
berarti telaga, danau, atau air yang menggenang dan “malaya” berarti
jajaran gunung-gunung. Dengan demikian, Tasikmalaya dapat diartikan
sebagai jajaran gunung-gunung yang berjejer dalam jumlah yang banyak,
seperti yang terekam dalam ungkapan “Jajaran gunung-gunung téh lobana
lir cai laut” yang berkembang di masyarakat Tasikmalaya.
Pendapat kedua ini pun dihubungkan dengan letusan Galunggung 8 dan 12
Oktober 1822. Bedanya, tafsiran kedua menyertakan fenomena terbentuknya
sekitar 3.648 bukit kecil (hillocks) yang dikenal sebagai “10 ribu
bukit” di sekitar Tasikmalaya, akibat letusan tersebut.
Namun, bila merujuk kepada penamaan wilayah sebagaimana yang dapat
dibaca dari buku Miftahul Falah, kedua pendapat tersebut tertolak,
karena nama Tasikmalaya sebagai nama daerah sudah digunakan sejak tahun
1820, dua tahun sebelum terjadinya letusan Galunggung pada 8 dan 12
Oktober 1822.
Penafsiran lainnya mengenai toponimi Tasikmalaya disampaikan
geologiawan senior M.M. Purbo Hadiwidjoyo pada muhibah kebumian 23-26
Januari 2013 dari Tasikmalaya hingga Banjarnegara. Di sela-sela
perjalanan, antara lain di Jembatan Cirahong dan Hotel MGriya Guest
House, Purwokerto, Purbo menerangkan bahwa kata Tasikmalaya berasal dari
kata “tasik” yang berarti “danau”, awalan kata kerja “ma-“ dan “laya”
yang berarti “mati”. Sehingga pengertian Tasikmalaya menurut Purbo
adalah danau yang di dalamnya banyak mayat terapung-apung.
Memang, penafsiran tersebut ia kaitkan dengan kegiatan Gunung
Galunggung. Namun, kegiatannya bukan yang terjadi pada 1822, melainkan
jauh sebelum itu, bahkan ribuan tahun sebelum itu. Kala itu Gunung
Galunggung meletus sangat dahsyat. Ledakannya menghancurkan dinding
timur Galunggung. Lontarannya sampai ke Manonjaya dan menutup alur
Sungai Citanduy Purba. Karena tertutup, maka jadi danau. Air danaunya
mula-mula mengalir ke selatan jadi Sungai Cibulan. Sebagian airnya
bergabung dengan air dari Galunggung, Cakrabuana, dan gunung-gunung di
sekitar Purwokerto yang dipengaruhi oleh budaya Sunda atau bercorak
Sunda, contohnya, Cilongok, Rancamaya, Baturaden, Darmaraja, Tangkil,
Pageraji, Pakuncen, Babakan, Cimerang, dan Paguyangan.
Hal ini, mungkin karena dulu di Purwokerto pernah berdiri Kerajaan
Pasir Luhur bagian dari Kerajaan Sunda-Galuh. Kali Serayu dan Bendung
Hidraulik Pertama di Gambarsari Hari kedua, mula-mula kami menepi di
tepi jalan yang berbatasan dengan Kali Serayu arah dari Purwokerto,
setelah melewati dua bukit tempat terowongan kereta api. Dari tempat itu
ke arah hulu tampak jembatan kereta api melintasi Kali Serayu,
sedangkan ke arah hilir terlihat bendung Gambarsari.
Kami pun menyambangi tempat poros bendung itu. Sungai Serayu atau
Kali Serayu, dulu dalam naskah Bujangga Manik disebut juga Ci Sarayu,
benar-benar merupakan sungai besar. Salah satu mata airnya, bernama “Tuk
Bima Lukar”, berada di dataran tinggi Dieng. Dari hulunya di daerah
Dieng hingga ke muaranya di dekat pantai Cilacap, sekitarnya, sehingga
membentuk Sungai Citanduy Baru yang alirannya memutar dan menembus ke
Cirahong. Saat letusan Galunggung itu, sudah ada manusia. Sehingga
setelah pembendungan Citanduy Purba oleh lahar Galunggung dan
pembentukan tasik atau danau, banyak penduduk di sekitarnya menjadi
korban dan memenuhi danau itu, sehingga daerah tersebut dinamakan
Tasikmalaya.
Untuk memperkuat pendapatnya, Purbo mengetengahkan Kampung Naga di
Salawu sebagai daerah yang selamat dari letusan besar Galunggung itu dan
kemudian terbebat (terisolir) dari penduduk lainnya, sehingga tata
budaya mereka cenderung berbeda dengan penduduk lainnya.
Bagaimanapun, menafsir Tasikmalaya adalah upaya terbatas.
Tafsiran-tafsiran di atas adalah cara untuk mendekati kebenaran melalui
bahasa yang secara turuntemurun digunakan untuk merekam kejadian alam.
Penanda “tasik” yang disangkutkan dengan pasir maupun danau dan
“laya” yang disangkutkan dengan hamparan, jajaran gunung-gunung, atau
kematian, semuanya hendak membongkar petanda di balik kata Tasikmalaya
yang bertaut dengan peristiwa alam.
Maka, siapa yang benar dan yang salah dalam menafsir Tasikmalaya
tidak relevan lagi. Siapapun boleh menafsirkan lagi Tasikmalaya
berdasarkan bukti-bukti yang dimilikinya. Sumber : Penulis Atep Kurnia, Jurnal Geologi, GeoMagz No 1, Edisi Maret 2013